Anak pertama dari
keluarga yang sederhana, itulah aku, Verry yulianto yang juga biasa dipanggil
Verry. Terlahir dari keluarga yang membingungkan karena aku terlahir di pulau
jawa tepatnya kabupaten bondowoso yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa
madura, begitu juga dengan aku, sehari-hari menggunakan bahasa madura. Pernah
suatu hari aku bertanya pada Bapak untuk sekedar mengetahui silsilah keluargaku
yang berbahasa madura, ternyata jawaban yang aku dapat malah menembah
pertanyaan karena kata Bapak tidak ada keluarga aku yang berasal dari pulau
madura asli, pertanyaan demi pertanyaan muncul tambah banyak, salah satunya
“mungkin keluarga aku suku jawa asli?” jawabannya pun tidak karena dari buyut
juga bahasa yang digunakan sudah madura dan memang tidak memungkinkan
keluargaku berbahasa madura karena aku tidak paham sama sekali tentang bahasa
jawa, apalagi menggunakannya.
Pernah ketika aku berangkat sekolah yang jaraknya
cukup jauh sehingga harus naik angkot, didalam angkot itu sudah ada dua pemuda
yang umurnya kira-kira 27 tahun berbicara yang maknanya tidak aku mengerti tapi
aku tahu jika dua pemuda itu menggunakan bahasa jawa. Pemuda itu melihat aku
yang duduk disebelahnya dan juga melihat bet lokasi sekolahku dan kemudian
bertanya “adik sekolah nang SMA telu yo?” tanya salah satu pemuda itu. Aku
langsung mencerna maksud pertanyaan itu karena lumayan gampang dimengerti,
langsung aku jawab “iya mas” jawabku dengan agak tidak percaya diri. Kemudian
pemuda itu melanjutkan ngobrol dengan temannya dengan menggunakan bahasa jawa
yang sulit aku cerna. Tiba-tiba angkot yang aku naiki berhenti karena juga ada
penumpang yang mau naik, ternyata penumpang itu adalah Sandra, teman sekelasku.
Kemudian aku ngobrol dengan sandra menggunakan bahasa indonesia karena Sandra
adalah keturunan suku jawa jadi dia tidak mengerti bahasa madura. Kemudian angkot
melaju dengan perlahan karena kuota penumpangnya masih sedikit dan masih kurang
dari cukup jadi sopir angkot tidak mau melewatkan kesempatan jika ada penumpang
yang memberhentikan angkotnya tapi dia tidak bisa berhenti karena ngebut. Dalam
keadaan angkot yang pelan serta ditemani belaian angin yang menyejukkan
pikiran, dua pemuda tadi bertanya “adik iki mudon nang endi?” pertanyaan itu
ternyata terarah padaku, pikiranku tidak bisa mencerna kalimat itu sehingga aku
garuk-garuk kepala. Pikiranku terus berputar tapi aku harus menjawab, kemudian
dengan tenangnya aku menjawab seperti yang pertama tadi “iya mas”. Ekspresi dua
pemuda itu langsung seperti bingung sehingga membuat aku merasa tertimpa beton,
ditambah Sandra yang tertawa lumayan keras membuat wajahku disiram air panas.
Kemudian Sandra menjelaskan pertannyaan itu “kata mas ini, kamu mau turun dimana
Ver? Itu maksudnya, eh malah kamu jawab iya” mendengar penjelasan sandra
rasanya aku ingin terjun bebas dari angkot itu bersama rasa maluku. Sandra
kemudian ngobrol dengan pemuda itu menggunakn bahasa jawa yang menurutku
seperti bahasa dari planet lain. Sejak kejadian itu aku takut bertemu dengan
orang yang menggunakan bahasa jawa, tapi nasib berkata lain, setelah aku lulus
SMA kulanjutkan kuliah di Jember yang mayoritas mahasiswanya menggunakan bahasa
jawa. Seperti neraka rasanya, kemana-mana bahasa yang digunakan adalah bahasa
jawa. Tapi selamanya aku tidak akan terisolasi dengan rasa takutku. Setiap hari
aku berusaha menghafal maksud demi maksud dan kata demi kata yang diucapkan
oleh teman-teman kuliah ataupun penjual nasi. Tidak terlalu lama aku belajar
bahasa jawa dan kini aku bisa. Ternyata aku baru sadar orang madura lebih cepat
belajar bahasa jawa, daripada orang jawa belajar bahasa madura.
Sorry yo ojo tersinggung
rek sing jawi, wkwkwk....