PERSEKONGKOLAN SATU NASIB
Oleh Verry Yulianto
Mahasiswa
baru bernama Hendra mengalami kecelakaan, menabrak perempuan tua bernama Bu
jupri yang sedang menyebrang di jalan raya. Hendra harus bertanggung jawab
untuk membiayai Bu jupri yang patah tulang. Hendra juga harus berurusan dengan
polisi padahal dia tidak memiliki SIM, dan sepeda motor yang digunakan adalah
pinjaman dari temannya. Disisi lain, Hendra yang ketika terjadi kecelakaan itu
sedang mengantar ibunya yang bernama Bu nayla untuk berobat ke RS Dr. Soebandi,
juga harus memikirkan biaya untuk ibunya yang sakit TBC tersebut. Semenatara,
ayahnya yang bernama pak Argo tidak jelas keberadaanya karena telah dipikat
oleh seorang perempuan muda cantik bekas pekerja seks komersial(PSK) bernama Eny.
Meskipun Hendra telah bekerja menjadi tukang loper koran dan pengantar makanan
chatering, toh tingkat ekonomi keluarga Hendra belum dapat mencukupi kehidupan
hidup mereka. Hendra merasa bahwa hidupnya kini bagai “sudah jatuh, tertimpa
tangga”. Kesedihannya begitu mendalam. Dirinya tidak bisa menikmati statusnya
sebagai mahasiswa baru. Kronologi kehidupan pahit terpaksa ditelan Hendra. Tak
ada pilihan selain memutar otak bak bajak laut somalia. Pernah terlintas
dipikiran Hendra, waktu kejadian kenapa tidak melarikan diri. Tapi. Aturan dari
negara maupun agama sangat melekat pada batin Hendra. Teringat jelas, sebelum
kecelakaan itu terjadi ada wajah lugu dari anak kecil yang menyebrang jalan
tanpa melihat kiri-kanan. Hendra pun membanting setir, alangkah sial yang
ketabrak malah Bu Jupri.
Pemikiran
Hendra untuk duduk di kursi tersangka waktu disidang atau yang lebih parah lagi
duduk di balik jeruji besi luluh sudah. Bu Jupri memilih jalan damai dan Hendra
cukup membiayi patah tulang yang diderita Bu Jupri. Kekagetan Hendra meluap
mengetahui biaya perawatan Bu Jupri sangat besar, ditambah lagi biaya untuk
mengeluarkan sepeda dari polres.
Pekerjaan
yang timbul pertama kali menjual terasi, dengan modal sedikit dan untung yang
lumayan banyak. Hari-hari Hendra sangat sibuk, masalah yang bertubi-tubi
menimpanya membuat sekat yang begitu tebal untuk melanjutkan kuliahnya. Tanpa
memikirkan sinar matahri yang menyengat Hendra terus mendatangi satu warung ke
warung lain. Dari pasar satu ke pasar yang lain. Aneh. Capek. Lemas. Dari pagi
sampai sore terasi yang laku hanya satu kilo dan persediaan ada sepuluh kilo
dan target Hendra harus menjual minimal delapan kilo sehari. Hendra tersandar
disebuah tempat sampah dekat alun-alun. Matahari sudah tersenyum layu. Secarik
ingatan Hendra muncul, dulu saat dia membaca sebuah buku tentang bisnis. Hal
yang paling sulit adalah penjualan, sebesar apapun modal yang dikeluarkan tapi
jika marketing tidak lancar maka dijamin bisnis itu akan bangkrut. Mengingat
hal itu hendra tersenyum tipis, dia tahu untuk terasi pasti agen atau langganan
di warung maupun di pasar sudah terjadi kerjasama. Karena itu penjualannya
macet.
Beban
yang dipikul Hendra sangat berat. Ibu yang sangat dia. Cintai. Sayangi. Telah
sampai pada panggilan ke Yang Maha Kuasa. Penyakit TBC yang diderita sudah
merenggut Ibu Hendra. Luapan tangis tak terhankan. Hendra merasa hidupnya
meniti sehelai rambut. Sangat sulit. Tanpa orang tua yang sangat dia cintai tak
mungkin bahagia. Perpisahan yang sepele. Hanya karena tidak bisa membeli obat
yang rutin diberikan setiap minggu. Hendra kehilangan ibunya. Bukan duka yang
dipertimbangkan Hendra. Kasihsayang tanpa pamrih yang membuat dia kehilangan.
Pagi
masih murung juga. Matahari lelah menampakkan sinarnya, hanya awan kelabu
menyambut. Hendra bergegas untuk kuliah. Di kelas Hendra ditemani berbagai
masalah. Bukan dia tidak memperhatikan dosen, tapi ada bayangan yang
mengajaknya melamun. Sosok seorang ibu. Bayangan kedua muncul, Bu Jupri yang
terbaring tak berdaya. Bayangan ketiga muncul, dua orang yang sedang bermesraan yaitu Ayahnya
dan Eny sang pelacur itu. Hendra sadar dari lamunannya. Dia ingat kalau dia
masih punya Ayah. Ayah bajingan. Ayah bejat. Setelah kuliah usai, Hendra
mencari Ayahnya.
Uang
yang didapat Hendra dari berbagai pekerjaannya digunakan untuk menebus motor
temannya yang berada di polres dan membayar sangsi karena tidak memiiki SIM.
Untuk Bu Jupri dikesampingkan dulu. Hendra mendatangi rumah Bu Jupri. Niatnya
meminta maaf dan meminta keringanan untuk tidak buru-buru minta uangnya. Dulu
waktu Bu Jupri masih dirawat di sangkal putung memakai uangnya sendiri.
Senyuman
yang banyak makna menyambut Hendra. Senyuman dari anak-anak kecil yang berada
dirumah Bu Jupri. Ada empat anak, yang dua kira-kira berumur empat tahunan.
Yang dua lagi kira-kira berumur sebelas tahun. Senyuman yang menggetirkan
Hendra dari kakek yang badannya sangat kurus. Keluarga Bu Jupri tak sedikitpun
menaruh benci kepada Hendra. Mereka semuanya baik. Hendra baru tahu, biaya
untuk perawatan Bu Jupri dari menjual kambing satu-satunya milik keluarga Bu
Jupri. Terpukul. Hendra menyaksikan semua itu. Bu Jupri adalah adalah tulang punggung keluarganya.
Tekanan
batin Hendra menjadi-jadi. Belaian angin serta sentuhan gerimis mendorong
Hendra berlindung di sebuah halte. Suara lembut nan halus menyapa.
“
kamu Hendra kan?”
“
i i iya” jawab hendra gugup melihat kecantikan wanita ini
“
saya Eny, saya sudah berhari-hari mengikuti kamu dan melihat apa saja yang kamu
lakukan”
“
eny??? Iya aku kenal kamu, kamu?” hendra mengernyitkan dahi
“
sudah kamu jangan berpikir negatif dulu tentang saya”
Percakapan
mengajak Hendra untuk bertemu Ayahnya. Benar wanita itu adalah Eny sang pelacur.
Hendra menurut saja ketika diajak Eny bertemu Ayahnya. Niat balas dendam sudah
dirancang, gara-gara Ayah yang tidak bertanggungjawab itu Ibu Hendra sengsara.
Wajah
tak asing keluar dan langsung memeluk Hendra. Tangisan kerinduan meluap dari
Ayah Hendra. Lain yang dirasakan Hendra, ledakan emosi menjadi-jadi.
“kenapa
kamu tega melakukan ini?” hendra mendorong Ayahnya
“maafkan
ayah nak” memeluk hendra lagi
“kamu
tega meninggalkan keluarga hanya gara-gara pelacur ini?”
“Nak,
kamu tak paham dengan semua ini! Kamu dulu terlalu kecil untuk mengerti
kejadian sesungguhnya”
Ayah
hendra menjelaskan. Gara-gara wanita yang Hendra sebut pelacur itu dia masih
hidup. Waktu bersama dengan Ibu Hendra, Ayah Hendra selalu mengalami tekanan
batin. Tuntutan demi tuntutan selalu menyerbu dari Ibu Hendra. Hal-hal yang
diluar pikiran diambil Bapak Hendra. Korupsi. Penipuan. Dilakukan. Gara-gara
tuntutan dari Ibu Hendra yang selalu minta ekonomi lebih, akhirnya Ayah Hendra
memilih terjun ke sungai. Dan saat itu pula yang menolong adalah Eny yang
disebut pelacur oleh Hendra. Eny yang merawat Ayah Hendra sampai sembuh dan
kemudian mereka menikah.
Memang
sulit kejadian dulu dicerna oleh Hendra. Masalah umur yang dini mungkin
penghalangnya. Rasa iba menimpa Hendra. Penilaian pada seorang Ayah salah.
Angin
malam menyapa. Hendra pamit untuk pulang, tapi Ayah Hendra memaksa untuk
menginap saja dan tinggal bersama mereka untuk seterusnya. Namun, Hendra
menolak. Hendra bilang ada kuliah pagi dan pekerjaan yang banyak menunggu
besok. Ayah hendra tidak bisa memaksa karena watak keras Hendra mirip dengan
ibunya. Semakin dipaksa maka semakin melawan.
“ini
ambil” Eny menjulurkan uang
“untuk
apa ini?” hendra heran
“sudah
ambil saja, saya sudah tahu beban yang kamu pikul dan kamu harus membayar biaya
perawatan ibu tua yang kamu tabrak itu kan?”
“kenapa
kamu tahu?” hendra heran
“aku
sudah mengikuti kamu berhari atas perintah Ayahmu dan kamu tenang saja uang ini
halal kok, kami disini memiliki usaha rumahan dan modalnya kami pinjam dari
bank”
“tapi”
hendra menoleh ke Ayahnya
“ambil”
ayah hendra mengangguk pelan
Hendra
tak bisa menolak pemberian itu. Ingatan ke Bu Jupri menghantui. Hendra menemui
Bu Jupri dan memberikan uang yang didapat dari Ayahnya.
Hendra
kini lepas dari penderitaan. Hendra kini memilih hidup bersama Ayahnya dan Eny
yang tak lain adalah ibu tirinya. Masalah yang tersisa yaitu kuliah. Banyak
tertinggal mata kuliah. Dikelas Hendra tak memiliki satu temanpun karena dia
dari awal masuk sibuk ngurusi masalah yang beruntun menimpanya.
“haiiii,
apa kabar? Hendra kan?” gadis cantik menyapa
Hendra
salting melihat bidadari.
Kebahagian
akhirnya menjemput Hendra.