Jumat, 30 Maret 2012

Hamparan Hampa

seketika semua tanpa batas
tiada tembok yang menjulang. menghalangi
semua sunyi. namun. krik...krik...dari kejauhan terdengar
bunyi lain menyusul
ada lagi
bertambah lagi
tapi semua gelap ya semua gelap
samar-samar cahaya mendekat tp tetap gelap
kudengar dia berbisik namun tak bisa kumencernanya
ada lagi cahaya redup mendekat
kudengar dia mengajak samar juga kumemahaminya
kali ini ada tali
menyuruhku memegangnya
terasa tenang ajakan itu
kini suara-suara sangat jelas semua kudengar
semua mengajak untuk berdiri
ya...menyuruhku berdiri

Kamis, 29 Maret 2012

PERSEKONGKOLAN SATU NASIB


PERSEKONGKOLAN SATU NASIB


Oleh Verry Yulianto

Mahasiswa baru bernama Hendra mengalami kecelakaan, menabrak perempuan tua bernama Bu jupri yang sedang menyebrang di jalan raya. Hendra harus bertanggung jawab untuk membiayai Bu jupri yang patah tulang. Hendra juga harus berurusan dengan polisi padahal dia tidak memiliki SIM, dan sepeda motor yang digunakan adalah pinjaman dari temannya. Disisi lain, Hendra yang ketika terjadi kecelakaan itu sedang mengantar ibunya yang bernama Bu nayla untuk berobat ke RS Dr. Soebandi, juga harus memikirkan biaya untuk ibunya yang sakit TBC tersebut. Semenatara, ayahnya yang bernama pak Argo tidak jelas keberadaanya karena telah dipikat oleh seorang perempuan muda cantik bekas pekerja seks komersial(PSK) bernama Eny. Meskipun Hendra telah bekerja menjadi tukang loper koran dan pengantar makanan chatering, toh tingkat ekonomi keluarga Hendra belum dapat mencukupi kehidupan hidup mereka. Hendra merasa bahwa hidupnya kini bagai “sudah jatuh, tertimpa tangga”. Kesedihannya begitu mendalam. Dirinya tidak bisa menikmati statusnya sebagai mahasiswa baru. Kronologi kehidupan pahit terpaksa ditelan Hendra. Tak ada pilihan selain memutar otak bak bajak laut somalia. Pernah terlintas dipikiran Hendra, waktu kejadian kenapa tidak melarikan diri. Tapi. Aturan dari negara maupun agama sangat melekat pada batin Hendra. Teringat jelas, sebelum kecelakaan itu terjadi ada wajah lugu dari anak kecil yang menyebrang jalan tanpa melihat kiri-kanan. Hendra pun membanting setir, alangkah sial yang ketabrak malah Bu Jupri.

Pemikiran Hendra untuk duduk di kursi tersangka waktu disidang atau yang lebih parah lagi duduk di balik jeruji besi luluh sudah. Bu Jupri memilih jalan damai dan Hendra cukup membiayi patah tulang yang diderita Bu Jupri. Kekagetan Hendra meluap mengetahui biaya perawatan Bu Jupri sangat besar, ditambah lagi biaya untuk mengeluarkan sepeda dari polres.

Pekerjaan yang timbul pertama kali menjual terasi, dengan modal sedikit dan untung yang lumayan banyak. Hari-hari Hendra sangat sibuk, masalah yang bertubi-tubi menimpanya membuat sekat yang begitu tebal untuk melanjutkan kuliahnya. Tanpa memikirkan sinar matahri yang menyengat Hendra terus mendatangi satu warung ke warung lain. Dari pasar satu ke pasar yang lain. Aneh. Capek. Lemas. Dari pagi sampai sore terasi yang laku hanya satu kilo dan persediaan ada sepuluh kilo dan target Hendra harus menjual minimal delapan kilo sehari. Hendra tersandar disebuah tempat sampah dekat alun-alun. Matahari sudah tersenyum layu. Secarik ingatan Hendra muncul, dulu saat dia membaca sebuah buku tentang bisnis. Hal yang paling sulit adalah penjualan, sebesar apapun modal yang dikeluarkan tapi jika marketing tidak lancar maka dijamin bisnis itu akan bangkrut. Mengingat hal itu hendra tersenyum tipis, dia tahu untuk terasi pasti agen atau langganan di warung maupun di pasar sudah terjadi kerjasama. Karena itu penjualannya macet.

Beban yang dipikul Hendra sangat berat. Ibu yang sangat dia. Cintai. Sayangi. Telah sampai pada panggilan ke Yang Maha Kuasa. Penyakit TBC yang diderita sudah merenggut Ibu Hendra. Luapan tangis tak terhankan. Hendra merasa hidupnya meniti sehelai rambut. Sangat sulit. Tanpa orang tua yang sangat dia cintai tak mungkin bahagia. Perpisahan yang sepele. Hanya karena tidak bisa membeli obat yang rutin diberikan setiap minggu. Hendra kehilangan ibunya. Bukan duka yang dipertimbangkan Hendra. Kasihsayang tanpa pamrih yang membuat dia kehilangan.

Pagi masih murung juga. Matahari lelah menampakkan sinarnya, hanya awan kelabu menyambut. Hendra bergegas untuk kuliah. Di kelas Hendra ditemani berbagai masalah. Bukan dia tidak memperhatikan dosen, tapi ada bayangan yang mengajaknya melamun. Sosok seorang ibu. Bayangan kedua muncul, Bu Jupri yang terbaring tak berdaya. Bayangan ketiga muncul,  dua orang yang sedang bermesraan yaitu Ayahnya dan Eny sang pelacur itu. Hendra sadar dari lamunannya. Dia ingat kalau dia masih punya Ayah. Ayah bajingan. Ayah bejat. Setelah kuliah usai, Hendra mencari Ayahnya.

Uang yang didapat Hendra dari berbagai pekerjaannya digunakan untuk menebus motor temannya yang berada di polres dan membayar sangsi karena tidak memiiki SIM. Untuk Bu Jupri dikesampingkan dulu. Hendra mendatangi rumah Bu Jupri. Niatnya meminta maaf dan meminta keringanan untuk tidak buru-buru minta uangnya. Dulu waktu Bu Jupri masih dirawat di sangkal putung memakai uangnya sendiri.

Senyuman yang banyak makna menyambut Hendra. Senyuman dari anak-anak kecil yang berada dirumah Bu Jupri. Ada empat anak, yang dua kira-kira berumur empat tahunan. Yang dua lagi kira-kira berumur sebelas tahun. Senyuman yang menggetirkan Hendra dari kakek yang badannya sangat kurus. Keluarga Bu Jupri tak sedikitpun menaruh benci kepada Hendra. Mereka semuanya baik. Hendra baru tahu, biaya untuk perawatan Bu Jupri dari menjual kambing satu-satunya milik keluarga Bu Jupri. Terpukul. Hendra menyaksikan semua itu. Bu Jupri adalah  adalah tulang punggung keluarganya.

Tekanan batin Hendra menjadi-jadi. Belaian angin serta sentuhan gerimis mendorong Hendra berlindung di sebuah halte. Suara lembut nan halus menyapa.
“ kamu Hendra kan?”
“ i i iya” jawab hendra gugup melihat kecantikan wanita ini
“ saya Eny, saya sudah berhari-hari mengikuti kamu dan melihat apa saja yang kamu lakukan”
“ eny??? Iya aku kenal kamu, kamu?” hendra mengernyitkan dahi
“ sudah kamu jangan berpikir negatif dulu tentang saya”

Percakapan mengajak Hendra untuk bertemu Ayahnya. Benar wanita itu adalah Eny sang pelacur. Hendra menurut saja ketika diajak Eny bertemu Ayahnya. Niat balas dendam sudah dirancang, gara-gara Ayah yang tidak bertanggungjawab itu Ibu Hendra sengsara.

Wajah tak asing keluar dan langsung memeluk Hendra. Tangisan kerinduan meluap dari Ayah Hendra. Lain yang dirasakan Hendra, ledakan emosi menjadi-jadi.
“kenapa kamu tega melakukan ini?” hendra mendorong Ayahnya
“maafkan ayah nak” memeluk hendra lagi
“kamu tega meninggalkan keluarga hanya gara-gara pelacur ini?”
“Nak, kamu tak paham dengan semua ini! Kamu dulu terlalu kecil untuk mengerti kejadian sesungguhnya”
Ayah hendra menjelaskan. Gara-gara wanita yang Hendra sebut pelacur itu dia masih hidup. Waktu bersama dengan Ibu Hendra, Ayah Hendra selalu mengalami tekanan batin. Tuntutan demi tuntutan selalu menyerbu dari Ibu Hendra. Hal-hal yang diluar pikiran diambil Bapak Hendra. Korupsi. Penipuan. Dilakukan. Gara-gara tuntutan dari Ibu Hendra yang selalu minta ekonomi lebih, akhirnya Ayah Hendra memilih terjun ke sungai. Dan saat itu pula yang menolong adalah Eny yang disebut pelacur oleh Hendra. Eny yang merawat Ayah Hendra sampai sembuh dan kemudian mereka menikah.

Memang sulit kejadian dulu dicerna oleh Hendra. Masalah umur yang dini mungkin penghalangnya. Rasa iba menimpa Hendra. Penilaian pada seorang Ayah salah.

Angin malam menyapa. Hendra pamit untuk pulang, tapi Ayah Hendra memaksa untuk menginap saja dan tinggal bersama mereka untuk seterusnya. Namun, Hendra menolak. Hendra bilang ada kuliah pagi dan pekerjaan yang banyak menunggu besok. Ayah hendra tidak bisa memaksa karena watak keras Hendra mirip dengan ibunya. Semakin dipaksa maka semakin melawan.

“ini ambil” Eny menjulurkan uang
“untuk apa ini?” hendra heran
“sudah ambil saja, saya sudah tahu beban yang kamu pikul dan kamu harus membayar biaya perawatan ibu tua yang kamu tabrak itu kan?”
“kenapa kamu tahu?” hendra heran
“aku sudah mengikuti kamu berhari atas perintah Ayahmu dan kamu tenang saja uang ini halal kok, kami disini memiliki usaha rumahan dan modalnya kami pinjam dari bank”
“tapi” hendra menoleh ke Ayahnya
“ambil” ayah hendra mengangguk pelan

Hendra tak bisa menolak pemberian itu. Ingatan ke Bu Jupri menghantui. Hendra menemui Bu Jupri dan memberikan uang yang didapat dari Ayahnya.

Hendra kini lepas dari penderitaan. Hendra kini memilih hidup bersama Ayahnya dan Eny yang tak lain adalah ibu tirinya. Masalah yang tersisa yaitu kuliah. Banyak tertinggal mata kuliah. Dikelas Hendra tak memiliki satu temanpun karena dia dari awal masuk sibuk ngurusi masalah yang beruntun menimpanya.
“haiiii, apa kabar? Hendra kan?” gadis cantik menyapa
Hendra salting melihat bidadari.
Kebahagian akhirnya menjemput Hendra.